Penulis: Ahmad Albar | Editor: Syahar
NUNUKAN – Jelang hari putusan persidangan perkara tindak pidana Pemilu di Pengadilan Negeri Nunukan mendapat atensi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Nunukan. Dalam perkara ini HMI berharap majelis hakim jeli dan memberikan putusan hukuman dengan maksimal bagi terdakwa.
Pada persidangan sebelumnya terdakwa Syahran (39) telah dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Nunukan penjara 2 tahun dan ditambah pidana denda Rp 20 juta subsider 3 bulan kurungan penjara.
Tuntutan tersebut dibacakan JPU Adi Setya Desta Landya tanpa kehadiran terdakwa pada sidang Pengadilan Negeri Nunukan, dengan Ketua Majelis Hakim Raden Narendra Mohni Iswoyokusumo dan Hakim anggota Mas Toha Wiku Aji dan Daniel Beltzar pada Rabu 27 Maret 2024 lalu.
Ketua HMI Cabang Nunukan, Muhammad Agus mengatakan, Majelis Hakim seyogyanya menjatuhkan hukuman maksimal kepada terdakwa, mengingat sikap tidak kooperatif terdakwa berimbas pada sulitnya mengungkap dalang dibalik perkara politik uang tersebut. Hukuman maksimal juga dimaksudkan untuk memberikan shock therapy kepada masyarakat agar berpikir 1.000 kali dan menolak melakukan politik uang dalam kontestasi Pemilu.
“Ketidakhadiran terdakwa menjadi obstruction of justice atau menghalangi persidangan untuk mendapatkan keadilan, ini tidak bisa di toleransi lagi, makanya putusan pengadilan besok menentukan kualitas demokrasi kita kedepan,” tegas Agus, Minggu (31/03/24).
Lebih lanjut dikatakan putra daerah Nunukan ini, kita tidak ingin mendengar Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) menjadi perbincangan negatif dimata masyarakat, karena tidak dapat menemukan pelaku utama dalam perkara ini. Oleh karena itu pihaknya sangat berharap Gakkumdu tidak puas dan terus berupaya untuk mencari pelaku utama dibalik kesalahan Syahran sebagai terdakwa. Bahkan menurutnya harus di pidanakan lantaran telah berperan sebagai obstruction of justice (Penghalang Keadilan).
“Patut diduga ada aktor di balik kaburnya terdakwa, mulai dari pemeriksaan di Bawaslu sampai persidangan, intinya pengungkapan perkara ini jangan setengah setengah, malah membuat masyarakat menilai Gakkumdu diduga tebang pilih, hanya tajam kebawah, tumpul ke atas,” lanjutnya.
Walaupun demikian HMI tetap mengapresiasi progresivitas kinerja Gakkumdu dan Pengadilan Nunukan dalam mengungkap kasus ini dan kasus politik uang sebelumnya, terlebih dilakukan secara in absentia (Ketidakhadiran Terlapor). Artinya Gakkumdu bisa evaluasi diri terhadap kegagalan mengungkap kasus larinya terlapor di Sebatik pada Pilkada 2020, setelah barang bukti dan saksi jelas.
“Kita juga harus apresiasi, seperti Kajari turun gunung menjadi JPU, ini menandakan Kejaksaan memberi atensi besar terhadap kasus kejahatan politik uang,” pungkasnya.