Peringatan Hari Batik Nasional, Nunukan Punya Batik Lulantatibu, Simbol Persatuan Etnis, Lahir dari Keinginan Tulus untuk Memiliki Identitas Budaya Lokal

oleh

NUNUKAN – Batik Lulantatibu bukan sekadar kain bercorak indah, ia lahir dari sebuah keinginan tulus masyarakat Kabupaten Nunukan untuk memiliki identitas budaya lokal yang mencerminkan keberagaman, kebersamaan, dan kearifan serta kesejukan suku-suku asli di wilayah paling utara Kalimantan ini.

Asisten Administrasi Umum Setda Kabupaten Nunukan, Syafarudin, S.H., mengisahkan bahwa sejak tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Nunukan mulai menggagas pencarian motif batik yang benar-benar mencerminkan karakter lokal.

“Jadi, termasuk Nunukan itu ingin punya batik sendiri, makanya waktu itu, Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga mulai menggali motif-motif dari suku asli yang ada di Nunukan,” ujar Syafarudin.

Pencarian motif ini dipimpin oleh almarhum Wahyu Munjid Setari, seorang tokoh yang saat itu menjabat di Dinas Pariwisata. Ia dan timnya menjelajah hingga ke pelosok-pelosok desa, menyusuri jejak budaya yang masih hidup dalam keseharian masyarakat.

Dari hasil penelusuran itu, ditemukan empat motif utama yang mewakili empat etnis lokal, yakni Lundayeh, Tenggalan, Tahol, dan Tidung Bulungan.

Dari suku Lundayeh lahirlah motif tempayan dan arit, Suku Tenggalan menyumbangkan motif yang melambangkan persatuan, dari adat Tahol ditemukan bentuk tameng sebagai lambang perlindungan, sementara dari suku Tidung Bulungan diangkat motif bunga raya, simbol kesejukan dan harmoni.

Empat motif ini kemudian digabungkan dan diberi nama Lulantatibu, yang merupakan singkatan dari nama-nama suku tersebut Lu dari Lundayeh, Lan dari Tenggalan, Ta dari Tahol, dan Tibu dari Tidung Bulungan.

“Motif-motif ini kemudian dibahas dalam sebuah seminar, melibatkan tokoh masyarakat dan perwakilan dari masing-masing suku, hasilnya disepakati bahwa motif-motif inilah yang akan menjadi ciri khas Batik Nunukan, dan diberi nama Batik Lulantatibu,” jelas Syafarudin.

Lebih lanjut, tahun 2012, batik ini resmi diluncurkan oleh Bupati Nunukan saat itu, Basri, dalam sebuah seremoni di halaman Kantor Bupati, sejak saat itu, Batik Lulantatibu menjadi identitas budaya yang terus dikembangkan dan pada tahun 2017, empat motif yang telah disusun pun resmi mendapat perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).

Baca Juga:  Ramah Tamah dan Malam Keakraban, Jambore Cabang V Gerakan Pramuka Tahun 2024 Akan  Dibuka Hari ini 

Batik ini tidak hanya menjadi simbol budaya, tetapi juga bagian dari seragam resmi Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Nunukan.

Dalam Peraturan Bupati Nunukan Nomor 7 Tahun 2025, disebutkan bahwa batik khas daerah wajib dikenakan setiap hari Kamis dan Jumat, tanggal 2 Oktober dalam rangka Hari Batik Nasional, serta tanggal 25 setiap bulan pada hari kerja.

Tidak hanya itu, Batik Lulantatibu juga sering dipakai oleh Bupati dan pejabat daerah dalam acara resmi maupun tidak resmi, serta dijadikan cendera mata khas Nunukan ketika melakukan kunjungan ke daerah lain.

“Waktu kami ke Malinau, mereka kasih tas rotan dan batik khas sana. Kami balas dengan Batik Lulantatibu. Begitu kami jelaskan bahwa ini batik gabungan suku asli Nunukan, mereka langsung tertarik, mereka bilang, batik ini unik, karena menyatukan banyak etnis dalam satu motif,” kenang Syafarudin.

Saat ini, pemerintah daerah juga sedang menjajaki penambahan motif dari suku Agabag agar Batik Lulantatibu semakin lengkap mewakili keragaman Nunukan.

Jika disepakati, nama Lulantatibu pun kemungkinan akan diperluas untuk memasukkan unsur suku Agabag, yang akan menjadi suku kelima dalam harmoni budaya batik ini.

“Motif Agabag sebenarnya sudah kita masukkan dalam beberapa produksi batik. Tapi untuk proses HAKI-nya masih berjalan. Insya Allah tahun 2026 akan kita daftarkan secara resmi,” tutupnya.